African Swine Fever (ASF) Pada Babi

babi, babi asf, asf pada babi, babi pejantan, babi jantan, pejantan babi, babi pejantan


China merupakan salah satu negara di Kawasan Asia Tenggara yang memiliki populasi babi terbesar. Bayangkan saja Populasi babi di negara tersebut mencapai 400 juta ekor. Pada bulan agustus 2018 pemerintah China  dikejutkan oleh munculnya penyakit African Swine Fever yang menyebabkan tingginya angka kematian babi di negara tersebut. Dalam waktu yang singkat African swine Fever telah menyerang babi di 5 provinsi di China. 

Penyebaran penyakit tersebut menyebabkan makin meningkatnya angka kematian babi di China dan tentunya sangat merugikan peternak. Untuk diketahui, sampai saat ini belum ada vaksin untuk penyakit ini. Oleh karena itu, masuknya ASF ke dalam suatu daerah atau peternakan merupakan sebuah ancaman bagi kelangsungan sebuah peternakan babi. 

Indonesia sebagai suatu negara yang terletak di asia tenggara tentunya juga bersikap waspada terhadap penyebaran African Swine Fever. Penting bagi peternak di Indonesia untuk mengetahui berbagai hal tentang penyakit African Swine Fever mulai dari agen penyebab penyakit, tanda klinis, cara penularan penyakit serta berbagai cara yang dapat dilakukan apabila suatu peternakan telah terinfeksi. Oleh karena itu, berikut adalah beberapa hal yang dapat kita ketahui dari penyakit ini.

Etiologi

African Swine fever merupakan salah satu jenis penyakit yang masuk dalam daftar penyakit yang harus dilaporkan apabila terjadi outbreak atau wabah African swine fever merupakan sebuah penyakit yang disebabkan oleh virus DNA dari family Asfarviridae dan genus Asfivirus. 

Virus ini sangat tahan pada suhu rendah dan dapat mati setelah mengalami pemanasan selama 56℃ selama 70 menit atau 60℃ selama 20 menit. Virus ini dapat bertahan hidup pada feses, darah, benda-benda yang terinfeksi, serta dalam berbagai produk makanan yang berasal dari babi dan tidak dimasak dengan baik. 

Virus ASF akan mati pada ph kurang dari 3.9 dan di atas 11.5 pada suatu media yang bebas dari serum. Adanya serum dapat meningkatkan resistensi dari virus ini. Beberapa peneliti membuktikan bahwa pada pH 13.4 virus ini akan mati tanpa adanya serum dalam waktu 20 menit sedangkan apabila ada serum maka virus ini dapat bertahan sampai 7 hari. Disamping itu virus ini juga sangat rentan terhadap eter dan kloroform.

Transmisi

Transmisi atau penularan penyakit african swine fever dapat terjadi melalui beberapa cara yang berbeda. Hal itu dipengaruhi oleh sistem pemeliharaan, kondisi lingkungan, tingkah laku manusia dan juga keberadaan babi hutan disekitar kandang atau lingkungan peternakan. 

African swine Fever memiliki masa inkubasi 3-15 hari. Penyebaran African Swine Fever dapat melalui kontak langsung sesama hewan terinfeksi maupun kontak tidak langsung melalui berbagai peralatan peternakan yang terinfeksi atau pun berbagai limbah dapur yang telah tercemar oleh penyakit dan diberikan kepada babi. 

Limbah sisa pesawat dan kapal juga memainkan peranan yang cukup penting dalam penyebaran virus african swine fever. Penyebaran ASF juga dapat terjadi melalui kontak dengan urine, feses, sekret atau saliva (air liur) dari babi terinfeksi. 

African Swine fever dapat bertahan lama (2-4 bulan) dalam darah dan jaringan oleh karena itu penyakit ini dapat disebarkan melalui produk daging babi terinfeksi yang tidak di masak dengan baik. Perilaku kanibal babi juga dapat menyebabkan terjangkitnya babi didalam satu kandang. 

Penyakit ini juga dapat ditularkan melalui kutu Ornithodoros, spp. Caplak tersebut dapat menularkan virusnya ke kutu lainnya secara seksual, transovarial (menularkan ke telurnya) dan transtadial (dari satu siklus ke siklus berikutnya). Virus African Swine Fever tinggal di kelenjar air liur caplak tersebut dan akan berpindah ke babi saat makan. 

Pada beberapa negara di Asia, penyebaran paling besar terjadi karena densitas populasi yang cukup tinggi dan adanya interaksi babi yang cukup tinggi pada peternakan dengan penerapan sistem biosekuriti yang rendah. Adanya babi hutan juga dapat menjadi reservoir terhadap penyakit ini. Babi hutan dapat mengalami penyakit ini tanpa adanya tanda klinis. 

Tanda Klinis

Penyakit African Swine Fever (ASF) dapat bersifat akut, subakut dan kronis tergantung dari virulensinya. Kematian mendadak pada babi merupakan salah satu tanda klinis awal munculnya penyakit ASF. Pada kejadian akut penyakit ini cukup susah untuk dibedakan dengan beberapa penyakit lainnya khususnya Hog Cholera. 

Babi dapat mengalami demam tinggi (40-42°C) yang kemudian diikuti dengan kondisi babi yang melemah, tidak mau makan (anoreksia), letargi serta babi selalu berbaring pada salah satu sisi tubuhnya. Erytema (kemerahan) yang disertai dengan adanya benjolan menyerupai jerawat berwarna kebiruan (sianosis) pada kulit umumnya terjadi khususnya pada telinga, ekor dan juga pada kaki bagian bawah. 

Perdarahan pada sistem retikuloendotel menyebabkan kulit pada bagian abdomen, kaki dan telinga kelihatan merah. Sistem pencernaan juga dapat mengalami gangguan akibat virus ASF seperti diare, konstipasi serta sakit pada bagian abdomen (perut). 

Kharakteristik diare pada African Swine Fever adalah diare mukoid atau menyerupai lendir/leleran yang kemudian akan berubah menjadi diare berdarah setelah beberapa hari. Babi juga dapat menunjukkan gangguan pada sistem pernafasan (respirasi) seperti adanya batuk, kesulitan bernafas atau bisa juga peningkatan frekuensi pernafasan diatas normal serta adanya cairan atau leleran dari mulut maupun hidung. 

Penyakit ASF juga dapat menyebabkan abortus (keguguran)pada semua umur kebuntingan serta merupakan tanda munculnya outbreak dari penyakit ini. Pada bentuk akut kematian dapat terjadi dalam waktu 4-10 hari dan tingkat kematian dapat mencapai 100%.

Pada kejadian subakut dan kronis penyakit disebabkan oleh virus dengan tingkat virulensi yang moderat dan rendah. Tingkat kematian berkisar antara 30% hingga 70%. Tanda klinis yang tampak dapat berupa kehilangan berat badan, demam intermiten, beberapa gejala pernafasan seperti batuk, kesulitan bernafas juga bisa terjadi namun dengan tingkat keparahan yang lebih rendah. Ulser dan athritis atau radang pada sendi juga merupakan tanda klinis yang tampak pada kejadian subakut dan kronis.

Pencegahan 

African swine fever (ASF) merupakan salah satu penyakit yang cukup berbeda karena sampai saat ini belum ada pengobatan maupun vaksin untuk penyakit tersebut. Deteksi dini terhadap adanya penyakit ini juga merupakan hal penting untuk melakukan eradikasi seperti yang telah dilakukan di beberapa negara yang telah berhasil menangani ASF seperti brasil, portugal dan spanyol. 

Sistem biosecurity yang baik merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk diperhatikan agar mencegah masuk atau tersebarnya penyakit di suatu peternakan atau di suatu daerah. Biosecurity bertujuan untuk mencegah masuknya penyakit (external) dan juga untuk memperlambat penyebaran penyakit apabila penyakit sudah masuk ke suatu daerah. Beberapa hal penting terkait biosecurity untuk mencegah masuknya penyakit ini ke suatu daerah antara lain : 

  • Visitor atau pengunjung ke suatu peternakan harus melewati tempat desinfeksi (bisa berupa penyemprotan menggunakan desinfektan tertentu seperti glutaral dehyde, mencuci tangan sebelum masuk ke dalam peternakan, diberikan sepatu boot yang sudah didesinfeksi khusus untuk masuk ke dalam peternakan serta diberikan pakaian khusus sebelum masuk kedalam sebuah peternakan).
  • Karantina babi yang baru saja ditransfer atau masuk ke dalam suatu kandang atau peternakan selama minimal 14 hari.
  • Memperhatikan hygiene dan sanitasi kandang
  • Desinfeksi rutin untuk kandang menggunakan desinfektan yang dapat membunuh virus ini.
  • Memasang pagar dengan jarak minimal 10 meter dari kandang untuk mencegah masuknya babi hutan yang merupakan vektor pembawa virus.
  • Tidak memberikan makanan sisa limbah dapur ke babi karena makanan tersebut bisa saja merupakan mengandung bahan dasar daging babi yang tidak dimasak dengan baik sehingga virus tetap bertahan hidup dan mempermudah penyebaran penyakit ASF.
  • Pemerintah dapat memperhatikan kembali kebijakan impor dan biosekuriti terhadap babi, daging babi dan produk olahannya. Produk asal babi maupun daging babi dari negara terinfeksi hendaknya tidak boleh masuk ke daerah yang belum terinfeksi.
  • Makanan sisa dari pesawat dan kapal hendaknya harus jelas pembuangan atau pengolahan lebih lanjutnya.
  • Penerapan biosekuriti yang tepat harus dijalankan.
  • Pemotongan babi yang tepat dan harus dilakukan di rumah potong hewan dan dilakukan dibawah pengawasan dokter hewan.
  • Kontrol terhadap caplak dan pergerakan babi hutan juga menjadi salah satu hal yang diperhatikan dalam mencegah penyebaran penyakit ini.

Diagnosa

African Swine Fever cukup sulit dibedakan dengan penyakit Hog Cholera atau Clasical Swine Fever. Secara umum kedua penyakit tersebut menunjukan tanda klinis yang hampir sama. Oleh karena itu sangat penting dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memasitkan diagnosa terhadap African Swine Fever. 

Pemeriksaan lab yang dilakukan dapat berupa isolasi virus dan pemeriksaan serologis.Sampel yang digunakan untuk isolasi virus dapat berupa sel darah putih dan sumsum tulang belakang. 

PCR merupakan salah satu pemeriksaan yang paling sensitif terhadap penyakit ini, khususnya apabila sampel yang dikirim telah mengalami pembusukan. Untuk pemeriksaan serologis dapat dilakukan menggunakan Elisa, Indirect FAT, IPT dan IBT.



Posting Komentar untuk "African Swine Fever (ASF) Pada Babi"